1.11.11

Oknum Polisi, Tuhan, dan Diriku

Jam hampir menunjuk hampir pukul delapan. 
Lampu perempatan ini nun lama nian, meski akhirnya menghijau juga.

Sayang sekali, baru menggerakkan roda, seseorang berseragam bergegas dari pos polisi menghadang; berhenti! Katanya. Dengan tangan ia mengarahkan laju motor, dan membawaku ke dalam pos polisi.

“Spion kanan Anda nggak ada, padahal yang utama itu pak.” Terangnya, sambil mengambil kertas.
“Terus kenapa mas?” cegatku. Ini sudah jam delapan, harus cepat dibereskan. Dia memberikan lembaran, hi kertas tilangan, “bila sidang Rp. 75 rebu. Kalo di sini, cukup 50 rebu.”

Aku melongo. Shit, ni orang ternyata sedang malak secara formal. Uang di di dompet, sisanya cuma 45 rebu. Bensin habis pula, “30 piye pak?”

“Wah, ya nggak bisa pak. G cukup itu..” dalam hati aku tertawa. Tanpa bicara banyak, 40 ribu pun kukeluarkan. Dia tertegun, uang itu ditatap kemudian dihitung, dan manggut-manggut, "Yo wes, g papa-lah.." katanya.

Aku beranjak, kutepuk-tepuk bahunya dengan dengan gemes, lalu mengucapkan terima kasih. Maunya beli helm, lha kok penciuman oknum ini terlalu lihai menelisik rupa. Ihik.

Aku menahan napas. Pagi-pagi sudah kena palak. Tapi temanku justru terbahak-bahak, “kau mungkin belum sedekah!” cetusnya, “makanya, Tuhan pun terpaksa menjemputnya paksa! Hahaha..”
“Itu mah kemahalan bung!” sahut yang lain, “biasanya cukup kau sodorkan 20, beres semua urusan!”
Hahaha. Aku tertawa.
“Ikhlaskan aja. Barangkali dia lagi butuh duit buat biaya sekolah anaknya bro!” sambung yang lain-lain sambil ngakak.

Bla. Bla. Bla. Begitulah, banyak komentar. Banyak intrikan seputar sidang abu-abu di jalanan. Teman yang lain merasa heran, mestinya aku ngebut sok nggak tau dipeluit pak oknum, atau mestinya di posisi tengah keramaian kendaraan. Ah, yang namanya sedang mengintai, serapat apapun, takkan lolos dari kepungan mata yang lihai para pengintip.

Tapi menarik juga, kadangkala Tuhan punya caranya sendiri agar uang di tangan amblas. Seperti apapun kita kuat-kuat menjaganya. Boleh juga dibilang, hilangnya uang sebagai bentuk fakta, kita harus berbagi dengan sesama.

Jangan terlalu hemat buat berbagi dengan sesama. Sebab, yang namanya rezeki tidak ke mana-mana. Jika memang pelit berbagi karena khawatir uang berkurang, kehidupan selalu menyediakan ruang dan cara berbaginya sendiri.

Sekuat-kuatnya menggemgam uang supaya tambah banyak, selalu ada jalan uang itu berkurang. Seberapa pun uang dikeluarkan buat berbagi, selalu ada cara-Nya mengeluarkan rezeki pada hamba-hamba-Nya.

Pertanyaannya, kenapa catatan ini dicatat segala? Lha, aku sendiri bingung mendefinisikannya. Boleh jadi, ada trauma kena semprit sekali lagi. Masak aku harus terapi gara-gara phobia sempritan pak Pol. Mbohlah. Januari 2010.

2 komentar:

  1. saya sangat suka cerita yang berhubungan dengan tilang menilang kutilang ini...

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehehe, tapi inu kisah nyata guss

      Hapus