Suatu Kala Di Pantai Selatan



Akhirnya, aku tiba lagi di tempat ini. 
Menyusuri tiap-tiap telusur di pantaimu, Nyai. 
Berjalan perjejak, antara pantai Parangtritis, 
lalu  sejenak aku berhenti di pantai Parangkusumo. 



Ah. Lagi-lagi aku kembali di pinggiran pantai itu. Pantai ini. Entah sudah kesekian berapa kali mengulang. Gemuruh ombak terdengar. Malam yang tanpa lampu seperti sedang berdiam di tempat tanpa batas. Terbersit untuk menjadi ombak dan berteriak sepuas-puasnya. 

Lamat-lamat tercium bau dupa. Dupa yang menyengat. Terlihat dua manusia berbaju hitam-hitam sedang khusyuk duduk beberapa meter saja dari sisiran air laut yang bergelombang pasang dan surut. Sementara gemuruh laut makin membawa bahana ke dalam jiwa. 

Kadang terbayang, seumpama tergusur arus laut dan terbawa ke tengah, diseret ombak di antara kumpulan badai ombak, dihempas-hempas, kemudian bergumul dengan samudra yang dalam. Entah apa yang akan terjadi jika sudah sampai di situ. Mungkin meregang maut. Bagaimana rasanya jika ruh kemudian terlepas dari jasad? Ke mana kemudian ia pergi? Berlalu? Bertemu sang Tuhan? Bertemu Sang Kebenaran yang diperebutkan manusia hingga saling bunuh itu? 

Aku berdiri mematung, dan menatap laut yang pekat oleh gelap.  

Aku juga terpikir, andaikan saja dari kejauhan titik sana yang tanpa sudut itu, tiba-tiba muncul sosok yang sering ditakutkan banyak orang itu. Putri Roro Kidul. Ya, Putri Roro Kidul. Sang penguasa pantai selatan ini. Kalau sampai dia datang, aku akan memeluknya dengan pelukan yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya. Ya, suatu pelukan yang tak terlupakan. Pelukan maut. 

Ya, pelukan maut. Namun hingga senyap tak berbunyi, sosok itu tak pernah ada. Dia tidak pernah juga terlihat. Apa dia takut padaku? Atau malah dia jatuh cinta padaku, kemudian merasa sangat gugup untuk memunculkan diri?

            “Mas, mas!”
           Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari samping. Rasanya seperti mau terlempar karena kaget. Dengan bengong aku melirik diam-diam ke samping. Sial, ternyata aku masih seorang penakut. Tapi pelan-pelan suasana kembali normal. Seorang perempuan berumur 30-an bertubuh mungil. Meski gelap, dua bola matanya masih temaram terlihat.

            “Mas, anget mas!” katanya. Aku menggidig. Salah satu tangannya mendadak menyentuh bahu tanpa ragu-ragu. Sialan, mau apa ini perempuan. Napas seperti tertahan, ketika dua tangannya merangkul lambat. Sesuatu yang halus dan lembut terasa dari bahu kanan. Secara reflek, aku mengibas tangannya. 
            Tetapi, dia kembali dia mendekat. Ah, rasanya pengen berlari sekuat-kuatnya. Dalam benak, tiba-tiba muncul pikiran yang membuatku memiliki rasa takut yang kencang. 


"Dingin-dingin begini, enaknya anget-anget lho mas, ayukkk," Aku terpana. Cepat-cepat aku memilih siaga. “Hei, kamu ini apa-apaan he???” sentakku spontan. 


Tapi perempuan ini bukannya takut dan gentar. Sorot matanya menajam seperti gergaji, kemudian manis tersenyum. Wuaduh, mau ngapain nih orang ya. Aku segera menjaga jarak. Dia terlihat mendengus, sepertinya kecewa dan marah.           


“Huh, dasar! Mau diajak anget kok mau!!” makinya sambil berlalu. Aku diam termangu. Gemuruh ombak kembali terdengar. Angin yang menghembus dingin kembali terasa.  2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar