KIDUNG KULON


Bagaimana semua rangkuman ini dimulai? Oh, bagaiamana jika kumulai dari rasa sunyi? Manakala kita dihantam kesendirian dan sepi? Lalu,  kerapkali kita bisa bertemu seseorang yang tak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan kita. 


Ia datang, dan merangkum sejumlah pertemuan demi pertemuan panjang. Mengira ia adalah selamanya, setelah itu hambar dan menghilang dari kesabaran?

Tetapi biarlah begitu. Abaikan saja pandangan nisbi ini karena aku akan tetap saja membiarkanmu ada di sini. Saling membincang perjalanan. Barangkali, pertemuan demi pertemuan memang ada untuk kita kenang ke depan. Dan bahwasanya setiap pertemuan panjang, selalu tak sepanjang impian yang menggenang.

Marilah saling bicara. Dari tempat yang paling memungkinkan dari hati ke hati ia mengalirkan sejuta perasaan yang muskil. Marilah kita duduk. Biarkan sajalah bahwasanya ia kadang ada hanya demi sejumlah persinggahan dari satu hati ke hati yang lainnya.

Dan aku akan selalu mendengar denting demi denting sanubar terdalammu. Barangkali, siapa tahu kaulah orang yang selama ini aku cari. Sebagai bagian dari tulang rusuk yang hilang. Betapa pencarian demi pencarian telah terlalu panjang dijalankan.    

       Karena sungguh, kesendirian itu sangatlah menyiksa. Dan kita selalu terjebak dalam penantian yang tak pasti. Menganggap setiap yang kita temui sebagai sosok yang akan kita rengkuh dalam kebersamaan yang panjang kehidupan ini.

Marilah berlama-lama duduk bersama di sini. Kita pasti akan saling menunggu setelah itu. Dan biarkanlah aku selalu duduk di sebelahmu. Aku akan menyimak dengan diam dan seksama, setiap kegalauan itu.  

Kau tahu, kadang aku berpikir akan mendapatkan sesuatu yang lebih dari ini. Lebih dari sekedar dari pertautan kata-kata. Apa kau pun memikirkan hal demikian, hai perempuan? Ah, biarlah aku tak katakan itu secara langsung padamu. Aku memang lelaji penunggu yang lebih tahan lama dari diamnya sebongkah batu.
Tetapi tahukah kau lelaki? Tanyamu kemudian memulai rajutan ini, membuatku bangga karenanya. Dan aku menunggu kata-katamu selanjutnya.
Bahwa aku sedang ingin seseorang?
 
Oh, aduhai nona. Betapa sekelumit bahasamu melunaskan isi hatiku. Baiklah kuhadapkan saja tubuh kita menjadi saling berhadap-hadapan muka. Sambil menyimak lamat-lamat sorot bola matamu yang meredup. 

Lalu biarkanlah aku tersenyum halus, mencoba meresapi setiap sensasi sudut perasaanmu dan kemudian berusaha menyelinap jauh ke lubuk  atau jantung sanubarimu.
Carikan aku seseorang ya? Lanjutmu kemudian. 

Oh, apakah kata-kata itu kau tujukan untukku nona? Dan kutambal pertanyaanmu itu dengan  tersenyum.  Kuharap kau jatuh cinta karenanya.
Yah, ku butuh seseorang, seseorang yang deket sama aku. 
Memahami aku apa adanya. Apa kau bisa mencarikannya untukku lelaki? 

Kembali kutambal pertanyaanmu dengan tersenyum.  Sebelum tuntas engkau berbicara, salah seorang teman kita menghampiri. Tanpa diatur alurnya, kitapun bergelut dengan obrolan segitiga. Obrolan yang tanpa tema. Kurasa ia sedang menyimpan dendam. Dendam galau? Lihatlah, matanya seperti matamu. Ah, betapa ia lebih manis ketimbangmu. 

Kau gelisah ketika ia mulai duduk di sebelahku yang satunya. Engkau tiba-tiba beranjak dari lokasi dudukmu, aku mau ngisi perut dulu, aku lapar, ikut? Tawarmu, aku menolak ramah. Kau sambil melirik teman kita yang baru datang itu. 

Oh, mata dua perempuan kini saling beradu. Apakah mata sesama perempuan memiliki dua sudut pandangnya sendiri? Sehingga aku merasakan perang di dalamnya?

Ayolah, rajukmu. Lagi-lagi aku menolak. Jujur, malas pantat ini beranjak. Meskipun sebenarnya aku merasa mulai nggak nyaman hati. Engkau akhirnya pergi juga. Kuantar kepergianmu dengan ujung pandang bola mata yang datar.

Sementara tanpa engkau tahu, aku melanjutkan obrolan sampai senja menjenguk. Dan obrolan bersama teman kita ini, tetap kokoh berlanjut, setelah engkau pergi dengan keceewa.
Aku ingin punya seseorang. Ujarnya, ya ujar teman kita itu. Aku  terhenyak. Ah,  kata-kata itu. Dahiku pun mengkerut. Cariin aku seseorang, ya? Ulangnya. Oh, dahi ini kembali mengkerut. Aku butuh seseorang, seseorang yang bisa deket ma aku. Memahami aku apa adanya.  

Suasana yang aneh. Yang membuat tanganku gemas untuk memegang pena dan beberapa lembar kertas. Seperti halmu, ia pun pergi dengan tatapan serupa. Apa tidak sebaiknya kita pulang bersama? Katanya. Aku menggeleng. Ia pergi dengan tatapan mata seperti halmu, hai perempuan.

Di malam yang temaram, di remang-remang warung kopi angkringan kota, pertanyaan-pertanyaan ringan itu mendera seperti bara. Kenapa kau suka mengopi sendiri kawan? Demikianlah, sunyi ini tak pernah sendiri. Selalu ada yang datang. Mungkin sunyi terbuat dari garpu tala, memantul ia menggandul. Lelaki jangkung yang bermata cekung. Begitu saja ia duduk sembari melempar perbincangan.
Terpecah sunyi oleh obrolan demi obrolan.
Aku butuh seseorang, cariin ya? 

Oh, kata-kata itu muncul dari mulutnya yang penuh asap rokok dan berbau pengap ramuan kopi. Aku butuh seseorang. Seseorang yang bisa deket ma aku. Memahami aku apa adanya. Dahiku ini  mengkerut lagi. Semacam parut ia kini.
Aku butuh seseorang, cariin ya? 

Di sudut-sudut yang lain, orang-orang, dan dari sekumpulan manusia kembali kudengar kata-kata itu. Aku butuh seseorang, seseorang yang bisa deket ma aku. Memahami aku apa adanya. Semoga saja dahi ini tak benar-benar menjadi parutan karenanya.  

            Atau, memang begitukah manusia? Tak bisa sendirian. Selalu butuh orang lain, diri yang berselimut sunyi, merasa sendiri; merasa sendiri. Semua; setiap orang merasa sepi; kesendirian; butuh seseorang?

            Oh, andaikan engkau tahu. Sungguh-sungguh begitu pulalah yang berdentang di dalam sanubar ini. Aku butuh seseorang. Aku butuh seseorang, seseorang yang bisa deket ma aku. Memahami aku apa adanya.  Cariin, ya?

Atau, engkaukah orang yang kumaksud itu? []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar