SORGA NGOPI DI JALAN LINGKAR KOTA




Jajaran warung kopi berderet  di pinggir jalan.
Tepatnya, di jalan raya yang baru dibangun oleh Pemkot Surabaya, 
dari RS. Dr Ramelan hingga IAIN Sunan Ampel.  
Belum tuntasnya proyek pembangunan Frontage Road, 
dimanfaatkan ruang kosong lahannya oleh warga untuk meraup berbisnis.


            Proyek pembangunan jalan ini dimulai dari jalan masuk menuju Bentoel. Atau jalan yang berlokasi di dekat RS Ramelan. Dulu, jalan ini penuh lumpur jika hujan. Hanya orang nekat saja yang mau melewatinya. Semenjak proyek selesai, lokasinya menghadirkan perubahan yang bikin takjub.

            Bagaimana tidak, jalan lingkar ini menghadirkan dua ruas jalan yang sangat kontras. Jalan A. Yani yang menggambarkan kota yang megah dengan segala ciri khasnya, jejeran mall, lalu-lalang padatnya kendaraan, jembatan layang, poster dan spanduk yang membentang di tiap sudut, atau lampu-lampu yang memanjakan mata.

            Sementara ruas jalan lingkar menghadirkan nuansa lain yang begitu senyap. Pasalnya, jalan lingkar ini dibangun di pinggiran halaman perkampungan yang masih jauh dari ciri khas kota besar.

            Jadi, jika kita sedang duduk di trotoar jalan baru ini, maka mata langsung disergap kesibukan layaknya  kota metropolis lalu-lalang kendaraan di jalan A. Yani beserta bunyi-bunyiannya. Sementara di belakang kita menghadirkan nuansa lain, yaitu nuansa sunyi dari perkampungan di sebuah kota besar. Terasa kontras.

            Suasana jalan yang temaram oleh pencahayaan lampu, ikut menunjang  rasa kontras itu. Kita seperti, sesaat tenggelam memasuki kemegahan kota metropolis yang meriah, penuh lampu, jejal kendaraan, dan hiruk-pikuk suara-suara khas kota yang kentara.  Sesaat pula setelah itu, pikiran kita menjelma keheningan. Tanpa lampu, tanpa bunyi-bunyian yang bikin pekak, maupun bangunan-bangunan yang menjulang tinggi.

            Sungguh mengasyikkan untuk melepaskan lelah dan penat.  Bagaimana pun jika kita tidak menyukai kebisingan dan berisiknya kota, ya kita tinggal membalik badan saja. Maka, senyaplah telinga, dan tenanglah mata dari gambar-gambar yang bergerak tidak keruan.

            Tetapi bukanlah lokasi ini yang paling menarik bagi saya. Saya akui, lokasi di depan RS Ramelan ini memang aman untuk melamun atau sekedar menikmati sensasi situasi diri, sambil menghayati denyut kota dari kejauhan. Tetapi, kurang tepat jika digunakan untuk berbagi ekspresi diri yang sempurna. Betapa tidak, di tempat tersebut adalah mustahil menemukan secangkir kopi panas.

            Lokasi yang dimaksud berada di sebelah selatannya, yaitu bagian jalan yang bersinggungan dengan gedung JTC, kemudian berlanjut jalan yang menuju IAIN Sunan Ampel. Dari situ, deretan warung kopi mulai timbul-tenggelam. Sangat menggoda.

            Berbeda dengan jalan lingkar di sekitar daerah Bendol, di mana pedagang terbatas menjajakan jualannya karena sudah dilarang pemerintah, setelah jalan Bentoel, tepatnya pasca Jatim Ekspo dan depan IAIN Sunan Ampel, banyak pedagang berjejer. Jarak antara ruas jalan A. Yani dan Jalan Lingkar yang lumayan lebar, dimanfaatkan oleh pedagang untuk menggelar tikar untuk pengunjung. Para penikmat kopi bisa santai menikmati keadaan. Di lokasi ini, jika Anda menginginkan suasana santai yang jauh dari kebisingan, Anda tinggal membalikkan badan saja. Maka, mata Anda tidak akan diganggu oleh keramaian di Jl. A. Yani.



Setiap Saat, Siap-Siap Digusur

            Dari perbincangan lepas dengan para pedagang, mereka semua sudah mengetahui bahwa berbisnis dengan memanfaatkan jalan lingkar, memang tidak bisa tahan lama. Mereka sadar, harus siap gulung tikar jika setiap digusur oleh pemerintah melalui Satpol PP.

            “Masalahnya, bisnis warung kopi di sini sangat menjanjikan. Banyak peminatnya mas. Sampean lihat sendiri, meski banyak warung lesehan di sini, masing-masing tetap ramai pembeli” cetus salah seorang pedagang. Memang benar apa yang dia ucapkan. Meski banyak warkop berdiri, tetap saja tiap pedagang, peminatnya tak pernah sepi.

             Bagaimana pun, penghuni kota ini tak cuma butuh taman. Di mana, jika bicara soal taman, maka Surabayalah surganya. Walikota membangun taman di tiap sudut kota. Tidak sulit mencari taman di kota ini. Tetapi jika mencari tempat yang tak sekedar taman untuk bersantai penuh, tentu sulit menemukannya.

            Warung kopi memang menyediakan segalanya. Selain waktunya yang sampai larut malam, kita bisa menikmati segala situasi dengan tenang. Tiap-tiap orang bisa bersantai tanpa diganggu manusia-manusia lainnya sambil menikmati racikan kopi dan nuansa keadaan yang temaram nan tenang. Tentu saja, sangat ditunjang oleh harga yang tidak menganggu keutuhan isi di dalam dompet. Tentulah, sangat merakyat secara harga.

            Dengan alasan ini, rakyat bisa bersuka cita karenanya. Meski Surabaya adalah kota Metro, kita tahu, seberapa tebal isi nominal dompet para penghuninya. Dihitung secara penghasilan rata-rata masyarakat di dalamnya, tentu sangat tipis jika harus menghabiskan waktu di mall-mall.

            Di salah satu warkop di Mall Royal misalnya. Untuk menikmati waktu sambil ngopi, kita harus merogoh kocek, paling tidak, senilai sepuluh ribu. Itu baru kopi, bukan panganan yang lain. Belum suasananya. Padahal, selain soal nominal harga, yang terpenting juga adalah suasana yang bisa menghadirkan nuansa hening di dalamnya.

Rakyat ; Entrepreneur Sejati!

            Jika dipikir-pikir, rakyat kita itu kreatif. Terlepas dari memenuhi syarat UU pemerintah atau tidak, mereka peka sekali melihat dan mengambil peluang sebaik-baiknya. Mereka membangun usaha, dan tekun serta telaten dalam berbisnis jika peluang sudah diambil. Bahkan jika usaha itu berisiko.

            Tanpa harus belajar ekonomi secara formal, mereka sudah lihai sendiri, belajar langsung secara praktek di lapangan usaha. Mereka pandai melihat pasar, dan bagaimana menarik pelanggan sebanyak-banyaknya. Hanya kesempatan dan peluanglah yang tertutup bagi mereka.

            Jadi, sepertinya salah besar jika ada yang mengatakan bahwa rakyat kita adalah kaum pemalas, bodoh, dan banyak pengangguran. Barangkali, susunan kata yang tepat jika kalimat di atas dialamatkan kepada elit pemerintahnya, yang tidak peka, bodoh, dan pemalas?

            Mereka tiap bulan digaji, tetapi belum bisa menghadirkan lapangan pekerjaan yang kreatif, marketable, dan selaras dengan kemauan pangsa pasarnya! 


           
                       





           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar